PERUBAHAN MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA KOLONIALISME BARAT
Perubahan di Bidang Politik, Ekonomi, Sosial Budaya Akibat Perluasan Kolonialisme Barat dan Imperialisme di Indonesia.
Datangnya bangsa Barat ke dunia Timur telah memberikan dampak yang sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan. Kolonialisme telah merajalela di Indonesia, praktik eksploitasi banyak dilakukan oleh bangsa barat di Indonesia, puncaknya pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Sistem eksploitasi apapun yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia telah menyebabkan perubahan dalam sendi-sendi masyarakat Indonesia, baik yang mencakup bidang politik, sosial-budaya, maupun ekonomi (Suroyo dkk., 2012, hlm. 127). Di bawah ini merupakan pengaruh kolonialisme yang membawa perubahan pada segi kehidupan masyarakat:
Perubahan di Bidang Politik
Indonesia sebelum berada di bawah kekuasaan asing sudah mempunyai sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan yang dimaksud adalah sistem pemerintahan tradisional yang berbentuk kerajaan atau kesultanan, sistem pemerintahan ini sangat menuntut raktyat untuk tunduk patuh terhadap raja atau sultannya namun tidak membuat rakyat merasa terbebani. Dalam sistem pemerintahan kerajaan, struktur birokrasi didominasi oleh kekuasaan raja atau sultan, kemudian dibantu oleh orang-orang kepercayaan yang berada di bawahnya, seperti Penasihat Kerajaan, Patih, Menteri, dan Panglima. Kekuasaan-kekuasaan tradisional (kerajaan-kerajaan) di Indonesia mempunyai sistem politik dan susunan masyarakat yang berbeda. Sifat kerajaan agraria sedikit berbeda dengan kerajaan pantai. Ekspansi kekuasaan Belanda di kerajaan pantai nampak sedikit berbeda dengan kerajaan di pedalaman, meskipun di sana sini terdapat pula kesamaan, seperti taktik Belanda dalam mengadakan campur tangan urusan intern kerajaan. Di daerah Jawa, sistem eksploitasi produksi agraris oleh Belanda nampak lebih kompleks daripada di daerah lain.
Ketika kolonialisme dan imperialisme mulai masuk ke Indonesia, sistem pemerintahan tradisional tersebut diganti oleh sistem pemerintahan kolonial. Sistem pemerintahan kolonial menitikberatkan pada pihak penjajah yang berperan sebagai penguasa, sedangkan pribumi sebagai pihak yang harus tunduk dan patuh atas segala peraturan yang ditetapkan oleh pihak kolonial. Pada masa pemerintahan tradisional, terbentuk suatu konsep yakni patron and client, konsep tersebut dapat diartikan bahwa kedudukan seorang raja adalah sebagai patron atau bapak yang mengayomi dan melindungi, sedangkan client adalah rakyat yang selalu ingin berada dibawah lindungan bapaknya. Dulu, konsep ini membentuk hubungan yang sangat harmonis diantara rakyat dan raja, karena antara rakyat dan raja masing-masing mengetahui porsi peran mereka. Namun, sejak datangnya kolonialisme di Indonesia, hubungan patron-client tidak lagi menggambarkan hubungan antara seorang bapak dan anak yang saling mengayomi, tetapi lebih pada bentuk penguasaan satu pihak ke pihak lainnya sehingga dalam praktiknya menimbulkan kerugian pada pihak pribumi dan keuntungan pada pihak penjajah.
Indonesia memasuki babak baru yakni ketika berada dibawah cengkraman kolonialisme. Pengaruh kolonialisme telah membawa dampak pada sistem pemerintahan yang kemudian secara otomatis membentuk suatu perubahan pada struktur masyarakat. Kedudukan raja sebagai pemegang hak tertinggi menjadi terancam, meskipun sebagian jabatan dalam kerajaan masih ada yang dipertahankan, namun tetap saja posisi kerajaan yang sebelumnya sebagai institusi paling atas harus tunduk pada pemerintahan kolonial yang berkuasa saat itu. Kedudukan dan kewibawaan raja digeser oleh penguasa baru yakni bangsa kulit putih.
Memasuki abad ke-19 dan abad ke-20, Indonesia berada dibawah kolonialisme Belanda sehingga pemerintahannya menjadi pemerintahan Hindia-Belanda. Belanda membagi sistem pemerintahan menjadi tiga bentuk yaitu:
1. Pangreh Praja atau pemerintahan yang dipegang oleh kaum Pribumi yang terdiri dari Bupati, Patih, Wedana, dan Asisten Wedana. Dalam hal ini, Bupati lebih sebagai perhiasan dari Gubermen sementara pekerjaan Bupati akan dilaksanakan oleh Patih yang kemudian Patih mebawahi lagi Wedana sebagai pemimpin daerah tingkat II atau kabupaten, dan pekerjaan Wedana akan dibantu oleh Asisten Wedana (Kartodirjo, 1992, hlm. 343).
2. Binenland Bestuur atau pemerintahan yang dipegang oleh orang Belanda yang terdiri dari Gubernur Jendral, Residen, Asisten Residen, Controleur, dan Asisten Controleur. Pekerjaan Residen akan dibantu oleh Asisten Residen. Dalam suatu keresidenan, biasanya seorang Residen dan Asisten Residen akan mempunyai daerah yang dibawahinya yaitu yang disebut Afdeling. Seorang Asisten Residen dibantu oleh Controleur yang dalam praktiknya ternyata mempunyai kesempatan langsung berhubungan dengan rakyat di pedesaan. Controleur dalam menjalankan tugasnya juga akan dibantu oleh seorang Asisten Controleur (Kartodirjo, 1992, hlm. 342).
3. Pemerintahan Zelfbestuur, yaitu kerajaan yang berada di luar struktur pemerintahan kolonial. Artinya, pemerintah pusat memberikan hak otonom kepada suatu daerah untuk mengurus sendiri daerahnya.
Struktur Birokrasi Pemerintahan Hindia Belanda
Jika melihat dari struktur pemerintahan yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda, dapat dilihat bahwa arahnya masih menonjolkan prinsip pemerintahan tidak langsung (indirect rule) dan belum mantapnya birokrasi modern yang ditunjukan dengan masih menonjolnya dualisme kepemimpinan. Kedudukan Bupati yang semula sebagai ministeriales (pejabat) dapat berkembang sebagai penguasa patrimonial yang kemudian memunculkan struktur feodal. Namun, seiring berjalannya waktu sistem patrimornial itu sudah tidak berlaku lagi karena sesuai dengan keharusan legitimasi seorang pemimpin maka pemilihan Bupati didasarkan pada pendidikan.
Perubahan di Bidang Ekonomi
Masuknya kolonialisme dan imperialisme di Indonesia berdampak pada perkembangan ekonomi. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, negara yang begitu subur dan makmur dan hal itu pula yang mendorong Bangsa Barat datang ke Indonesia, mereka tergiur akan simpanan kekayaan alam Indonesia dan kemudian berubah menjadi hasrat untuk menguasainya. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lautnya yang membentang dari segala penjuru maka tak heran Indonesia dijuluki sebagai negara maritim, juga pertanian yang mengisi segala sendi kehidupan masyarakat maka tak heran Indonesia dijuluki sebagai negara agraris. Namun, keindahan dan kemakmuran Indonesia berubah ketika tangan-tangan kulit putih mulai meraba-raba Indonesia, mulai mengeruk-eruk apa yang ada di dalamnya, tangan-tangan kolonialisme.
Setelah dibubarkannya VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie) tidak semata-mata pengaruh kebijakan ekonominya pun hilang. Bahkan keadaan ekonomi masyarakat tidak bisa dikatakan membaik. Karena pada saat itu, pemerintah Belanda kembali mengirimkan wakilnya untuk tetap menjaga negeri jajahannya, wakil Belanda tersebut ialah Herman Willem Daendels. Namun karena Daendels lebih difokuskan untuk menjaga Pulau Jawa dari serangan Inggris, ia pun tidak terlalu berkecimpung dalam mengurusi ekonomi Indonesia, hanya saja terdapat beberapa kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Daendels. Hal itu juga guna menutupi dan memperbaiki keuangan Belanda yang porak poranda. Beberapa kebijakan Daendels dalam bidang ekonomi ialah Prosenan Kultur, Prianger Steelsel, dan penjualan tanah kepada pihak swasta. Setelah Daendels berhenti memerintah, maka Indoesia diduduki oleh Inggris, namun kekuasaan Inggris tidak berlangsung lama hanya berkisar lima tahun yakni dari tahun 1811—1816. Akan tetapi, selama waktu itu telah diletakkan dasar-dasar kebijakan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijakan kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah kolonial Inggris (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010, hlm. 345).
Kekuasaan Inggris di Indonesia di wakili oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Pada dasarnya, Rafffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi yang bebas dari segala unsur paksaan yang selama ini telah melekat pada masyarakat sebagai pewarisan dari VOC. Secara nyata Raffles menghapus segala bentuk penyerahan wajib dan pekerjaan rodi, Raffles juga ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha pada masyarakat. Dalam mengatur ekonomi, Raffles mempunyai kebijakan tersendiri yakni dengan menerapkan kebijakan sewa tanah atau yang disebut dengan Land Rent. Raffles mempunyai anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tanah milik pemerintah. Oleh sebab itu, petani yang menyewa tanah diwajibkan untuk membayar pajak atas pemakaian tanah pemerintah.
Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung tiga aspek, yaitu penyelenggaraan suatu sistem pemerintah atas dasar modern (Barat), pelaksanaan pemungutan sistem sewa, dan penanaman tanaman dagangan untuk diekspor (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010, hlm. 348). Karena waktu yang terlalu singkat, terbatasnya pegawai-pegawai yang cakap, dan keterbatasan dana pula maka tidak mengherankan jika Raffles akhirnya tidak sanggup untuk menjalankan kebijakannya hingga pada tahun 1816 Belanda mengambil alih kekuasaan Inggris terutama atas Pulau Jawa. Karena gagasan-gagasan mengenai kebijakan kolonial yang baru terutama pada sistem sewa tanah, maka hal itu mempengaruhi pandangan pejabat-pejabat Belanda untuk kemudian meneruskan kebijakan Raffles tersebut. Pemerintah kolonial Belanda yang meneruskan kebijakan Raffles pertama-tama ialah Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, van der Capellen (1819—1826), dan Komisaris Jenderal du Bus de Gisignies pada tahun 1826—1830 (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010, hlm. 348) . Namun sistem sewa tanah akhirnya dihapuskan dengan kedatangan seorang gubernur jenderal Belanda yang baru yaitu van den Bosch pada tahun 1830. Ia kemudian menghidupkan kembali pemaksaan dalam penanaman tanaman dagang dalam bentuk yang lebih keras dan efisien daripada yang pernah dilakukan oleh VOC.
Sistem tanam paksa yang dilakukan oleh van den Bosch ialah untuk memperbaiki keadaan kas negara yang sangat ambruk akibat peperangan yang terjadi di negaranya maupun di negara jajahannya, di Indonesia keuangan pemerintah Belanda merosot akibat perang yang dilakukan oleh beberapa daerah terutama Perang Jawa yang membawa pengaruh yang cukup besar. Ciri utama sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam benruk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka. Salah satu akibat penting dari sistem tanam paksa yang diterapkan oleh van den Bosch ialah meluasnya bentuk tanah milik bersama. Hal ini terjadi karena para pegawai pemerintah kolonial cenderung untuk memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki oleh setiap penduduk dan wajib tanam dibebankan pada desa. Namun yang sangat hakiki dari sistem ini ialah pelaksanaan sistemnya menggunakan organisasi desa sebagai wahana yang paling tepat untuk meningkatkan produksi. Hal ini tentu saja menambah kesengsaraan rakyat, selain mereka ditindas oleh orang-orang Belanda, mereka juga ditindas oleh sesama Pribumi yakni orang-orang pemerintah desa yang mengabdi kepada Belanda. Untuk menjamin bahwa para pegawai Belanda maupun pegawai desa benar-benar menjalankan tugasnya, maka pemerintah memberikan stimulus finansial yakni dengan diterapkan Cultuurprocenten.
Masyarakat dipaksa untuk menanam semua tanaman yang laku di pasaran internasional artinya tanaman-tanamn tersebut akan di ekspor ke berbagai negara. Untuk pengolahan hasil tanaman ekspor seperti gula tebu, tenaga rakyat dikerahkan pada pembagian tugas yakni yang sebagian menanam, sebagian untuk menuai, dan sebagian lagi untuk mengangkut ke pabrik dan untuk bekerja di pabrik. Benar saja, kebijakan tanam paksa ini memperoleh keberhasilan yang sangat luar biasa, tercatat antara tahun 1832—1867 saldo untung meningkat mencapai f967 juta, dan untuk sepuluh tahun berikutnya mencapai angka f287 juta (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010, hlm. 369). Keberhasilan tanam paksa tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari derajat intensitas penyelenggaraan sistem tanam paksa, berapa jumlah tenaga kerja yang dikerahkan, berapa waktu yang dibutuhkan untuk bekerja, sebesar apa pengeluaran biaya dan sebagainya. Berikut merupakan catatan tantang perincian tanam paksa pada tahun 1833:
Gula
|
32.722
bau
|
Nila
(indigo)
|
22.
141 bau
|
Teh
|
324
bau
|
Tembakau
|
286
bau
|
Kayu
manis
|
30
bau
|
Kapas
|
5
bau
|
Sumber: Burger, 1962, hlm. 183
Sekitar tahun 1870, sistem tanam paksa dihentikan karena banyaknya keinginan pihak swasta Belanda untuk memegang peran utama dalam ekploitasi sumber daya alam Indonesia. Juga karena penentangan yang dilakukan oleh beberapa orang yang menyebut dirinya sebagai kaum liberalis. Beberapa tulisan mengenai pelaksanaan sistem tanam paksa mulai didengar, salah satunya ialah tulisan E. Douwes Dekker atau Multatuli yang berjudul Max Havelar. Buku ini memuat tulisan-tulisan yang isinya mampu menggoncangkan dan mengetuk hati nurani rakyat Belanda terhadap nasib yang dialami oleh rakyat Indonesia di Pulau Jawa. Sementara itu, kaum liberal pun terus menyerang pemerintah dengan berbagai argumennya mengenai akibat pelaksanaan sistem tanam paksa dengan tujuan untuk membuka peluang penanaman modal asing di Indonesia. Dengan demikian, terbukalah peluang bagi modal swasta untuk memasuki Indonesia dan mulailah babak baru perekonomian Indonesia dengan menganut sistem liberal.
Antara tahun 1860—1870 mulai dicari dasar yang baik untuk perusahaan partikelir, hasilnya ialah penanaman tingkat kedua dari nila, teh, lada, cochenille, dan tembakau dihapuskan, penanaman gula diubah dari paksaan menjadi bebas, penanaman wajib kopi dan tanam paksa lainnya pada tahun 1915 dihapuskan. Pada tahun 1870, dalam Agrarissche Wet atau Undang-Undang Agraria akhirnya memperbolehkan orang Indonesia menyewakan tanahnya kepada orang-orang luar. Pada tahun 1872 muncul politik perdagangan baru yaitu dengan cara menghilangkan politik bea-diferensii. Artinya politik perdagangan yang dilakukan adalah secara bebas tanpa memandang barang tersebut merupakan barang-barang yang berasal dari Belanda atau bukan. Namun politik perdagangan ini hanya dijalankan sampai tahun 1933. Untuk memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat Jawa, penghapusan kefeodalan, dan modernisasi masyarakat maka pemerintah Belanda menerapkan politik baru yang bersesuaian dengan stelsel tanah, politik ini mulai dijalankan pada tahun 1860.
Tuntutan pengusaha partikelir juga mengenai penghapusan rodi, karena setiap penduduk dapat dipanggil kapan saja untuk melakukan rodi, maka seringkali pengusaha partikelir susah untuk mencari pekerja upah bebas. Pada tahun 1912, pemerintah memutuskan untuk menghapus kerja rodi dengan berangsur-angsur dan selesai pada tahun 1916. Kewajiban kerja itu diganti dengan pajak dalam uang yang disebut uang kepala. Penghapusan rodi agaknya sejalan dengan meresapnya peredaran uang. Pada jangka waktu antara tahun 1860—1870 yang lebih banyak dilakukan ialah kerja bebas. Pada tahun 1860, ditetapkan bahwa kerja pabrik harus dilakukan oleh pekerja-pekerja bebas. Namun, karena banyaknya masyarakat petani yang menjadi buruh di perkebunan-perkebunan milik Belanda dan asing, tahun 1881, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan, yaitu Koeli Ordonantie. Peraturan ini berisikan tentang kuli atau buruh di Indonesia. Melalui peraturan ini, kuli-kuli yang bekerja di perkebunan atau perusahaan-perusahaan harus melalui prosedur kontrak kerja. Tahun 1863, hanya seperlima dari tanah pertanian yang digunakan untuk tanam paksa. Pemotongan, pengangkutan, dan pengolahan tebu harus dilakukan dengan kerja bebas. Pada zaman liberal juga, pemerintah Belanda giat untuk membangun infrastuktur dan prasarana guna menunjang kegiatan ekspor. Pembuatan sarana irigasi, jalan raya, jaringan dengan kereta api, dan jembatan-jembatan sering dilakukan. Pada zaman ini pula Indonesai memasuki babak baru yakni zaman modern.
c. Perubahan di Bidang Sosial dan Budaya
Perluasan kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat di Indonesia berakibat semakin melemahnya kekuasaan penguasa pribumi. Para penguasa pribumi lebih ditugaskan untuk menggali kekayaan bumi Indonesia seperti memungut pajak, mengurusi tanaman milik pemerintah, dan menyediakan tenaga kerja untuk bekerja demi kepentingan pemerintah Belanda.
Pada masa kolonial Barat, ada penggolongan sosial atau stratifikasi sosial berdasarkan ras dengan golongan Eropa berada pada posisi paling atas. Golongan Eropa yang dimaksud ialah orang Belanda, Inggris, Amerika, Swiss, Belgia, dan Prancis. Status sosial mereka lebih tinggi daripada golongan lain yang ada. Selanjutnya adalah golongan Asia Timur Asing, meliputi bangsa Cina, India, dan Arab. Mereka memiliki status sosial yang lebih istimewa daripada pribumi. Yang terakhir ialah golongan pribumi, yaitu kelompok mayoritas dan merupakan penduduk asli Indonesia. Kedudukannya berada di lapisan paling bawah. Dalam masa kolonial Barat, sistem pelapisan sosial dapat digolongkan menjadi: a) golongan penjajah dan terjajah, dan b) golongan majikan dan buruh. Yang dimaksud dengan golongan penjajah adalah golongan bangsa asing yang menguasai Indonesia dan mempunyai peran penting dalam penentuan arah kekuasaan dan jalannya pemerintahan, sedangkan golongan terjajah adalah golongan yang ditindas oleh penjajah. Golongan majikan terdiri dari pengusaha swasta asing dan pemilik perusahaan, sedangkan golongan buruh terdiri dari masyarakat yang bekerja pada perusahaan-perusahaan.
Penyelenggaraan pemerintah sentralistik dengan aturan hierarki birokrasi dalam pemerintahan pada masa Daendels (1808-1811) yang mana ia menunjuk bupati dan membentuk keresidenan-keresidenan yang ada di Jawa, membuat penguasa pribumi turun derajatnya di mata pribumi. Selain itu, hal ini menyebabkan adat pribumi seperti upacara penghormatan kepada residen, sunan, atau sultan berangsur-angsur hilang. Selain itu, Daendels yang menerapkan kebijakan sentralistis, walaupun ia melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam struktur pemerintahan kolonial tetapi sayangnya tidak parallel dengan usaha-usahanya yang sama di bidang kesejahteraan rakyat Jawa. Pada masa pemerintahannya, beban penduduk pribumi yang sudah berat menjadi lebih berat daripada sebelumnya, petimbangan-pertimbangan liberal telah dikorbankan demi kepentingan-kepentingan militer dan kehendak segera memperoleh keuntungan-keuntungan. Politik perluasan tanaman kopi yang dijalankannya bertentangan dengan maksudnya itu sendiri yang menyebabkan terjadinya depopulasi di beberapa daerah tertentu dan timbulnya ketidakpuasan di kalangan pribadi. Akhirnya terjadi kekacauan total yang tak terhindarkan. Para pemilik perkebunan tidak dapat memperoleh kembali tanah-tanah mereka karena keadaan tidak stabil.
Periode Daendels ditandai oleh sifat-sifatnya yaitu energinya yang tak terkendali dan kemauan keras, kepandaian, kenekatan, dan kekejamannya serta sifatnya yang mudah marah. Karena sifatnya yang mudah marah, Daendels tidak disukai oleh pribumi maupun orang Belanda itu sendiri dan mendapat julukan ‘Raden Mas Galak’ atau ‘Raden Mas Guntur’ dari pribumi. Hubungan Daendels dengan raja-raja Jawa, ia menunjukkan sikap yang tidak bijaksana. Ia melakukan intervensi untuk memecat Sultan Banten sehingga akibat yang ditimbulkan adalah kebencian rakyat yang semakin menjadi-jadi. Di Cirebon, Daendels melakukan intervensi dengan membagi kesultanan menjadi tiga bagian. Namun, di Jawa Tengah lebih parah lagi. Itu semua menyulut bara api kebencian dan akhirnya menimbulkan suatu perlawanan dari rakyat.
Pada periode Raffles (1811-1830), pelaksanaan sistem sewa tanah, karenanya, mengandung konsekuensi-konsekuensi yang jauh dan malahan dapat dikatakan revolusioner, karena mengandung perubahan asasi, yaitu dihilangkannya unsur unsur paksaan atas rakyat dan digantikannya dengan suatu sistem dimana hubungan ekonomi antara pemerintah dan rakyat didasarkan atas kontrak yang diadakan secara sukarela oleh kedua belah pihak. Perubahan ini bukan semata-mata perubahan ekonomi saja melainkan suatu perubahan sosial budaya yang menggantikan ikatan-ikatan adat tradisional dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal. Itu berarti bahwa kehidupan masyarakat Jawa yang tradisional hendak digantikan dengan dasar kehidupan masyarakat sebagai dikenal di negara-negara Barat.
Pada periode van der Capellen (1816-1819), pengaruh para bupati sudah sangat berkurang dibandingkan masa VOC karena penerapan pemerintahan modern. Namun van der Capellen sendiri menyadari bahwa para bupati memiliki pengaruh tradisional yang besar atas rakyat dan bahwa para pejabat Eropa tak pernah akan dapat menggantikan kedudukan sosial mereka dalam masyarakat Jawa, van der Capellen sendiri mengambil kebijaksanaan untuk tetap menghormati kedudukan sosial para bupati dan berusaha menggunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk tujuan-tujuan oemerintah kolonial tetapi tak dapat dihindarkan bahwa secara lambat laun kekuasaan efektif telah bergeser dari para bupati ke pejabat-pejabat Eropa.
Periode Sistem Tanam Paksa (1830-1870) dengan gubernur jenderalnya yaitu van den Bosch, dalam pelaksanaanya terjadi perubahan sosial yaitu rusaknya hubungan patron and client pada masa cultuurstelsel (sistem tanam paksa) akibat dari cultuurprocenten (hadiah tanam paksa) dan korupsi-korupsi yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan tanam paksa dan eksploitasi yang dilakukan terhadap para petani. Selain itu, beban penderitaan rakyat pada periode ini sangatlah berat mengingat rakyat, selain melaksanakan tanam paksa dan landrent, juga berkewajiban melaksanakan kerja rodi. Kemiskinan yang diderita dan gagal panen serta kerusakan tanaman yang menjadi tanggungan penduduk menunjukkan bahwa pada periode ini adanya eksploitasi pemerintah dengan cara monopoli yang risikonya dibebankan pada rakyat. Tahun 1844, paceklik di Cirebon menyebabkan beribu-ribu rakyat mati kelaparan. Tahun 1848 dan tahun 1849-1850 terjadi paceklik di Demak dan Grobogan. Dalam waktu dua tahun, penduduk Demak, Grobogan, dan Jawa Tengah lainnya berkurang drastis karena mati kelaparan. Huru-hara dan kekacauan timbul dimana-mana, lebih-lebih di Pasuruan, Surabaya, Besuki, Rembang, Surakarta, Yogyakarta, Kedu, Banyumas, dan Cirebon serta Banten. Tetapi rakyat sudah terlanjur kelaparan, tidak ada lagi tenaganya, maka dari itu melawan gubernurmen berarti mati.
Periode kolonial liberal (1870-1900) dengan upaya pengembangan industri-industri perkebunan bebasnya ternyata tetap membiarkan bertambahnya lagi eksploitasi atau pemerasan tenaga rakyat Indonesia. Krisis ekonomi dan depresi lain yang dialami Hindia-Belanda pada tahun 1885, serta menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat membuat Ratu Belanda membentuk Mindere Wehaarts Comissie yang bertugas untuk menyelidiki sebab-sebab menurunnya kesejahteraan rakyat. Ini menandai masa transisi dari politik liberal menuju politik etis yang lebih berakar pada masalah kemanusiaan. Kritik yang disampaikan di buku Max Havelaar (1860) karya Multatuli (Douwes Dekker) akhirnya membuahkan hasil, semakin banyak suara Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi beban penderitaan rakyat Indonesia dan Jawa khususnya. Politik etis atau juga dikenal dengan trilogy van Deventer (irigasi, emigrasi, dan edukasi) memiliki dua aspek, ekonomi dan sosial. Dari segi sosial dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui desa dan bertujuan untuk memperkuat desa dan menggunakannya sebagai pendongkrak, bukan saja untuk meningkatkan produksi materiil, melainkan juga untuk mempertinggi kesejahteraan sosial dan untuk mendorong pemerintahan sendiri demokratis, suatu idea yang mereka warisi dari tradisi liberal.
Sebagai reaksi terhadap politik etis yang tetap meanggengkan sistem kolonial liberal dan imperialism modern telah melahirkan nasionalisme Indonesia yang kemudian menjelma ke dalam berbagai pergerakan nasional modern yang berjuang dalam dua dimensi, yaitu yang bersifat kedaerahan berkembang menjadi perjuangan nasional yang mencakup seluruh bangsa dan di lain pihak membangun tekad dan perjuangan bersama untuk membebaskan serta melepaskan seluruh rakyat dari berbagai kemiskinan dan kesengsaraan.
Perubahan pada budaya akibat dari kolonialisme Barat dapat dilihat cara hidup, cara bergaul, cara berpakaian dan pendidikan yang dipengaruhi oleh Barat yang semakin meluas dan mulai dikenal di kalangan atas atau istana. Sementara itu, beberapa tradisi di lingkungan istana mulai luntur. Tradisi keagamaan rakyat pun mulai terancam pula. Di kalangan penguasa timbul kekhawatiran bahwa pengaruh kehidupan Barat mulai merusak nilai-nilai kehidupan tradisional. Dalam suasana kritis, pandangan keagamaan ini dijadikan dasar ajakan untuk melakukan perlawanan. Perubahan budaya juga ada dalam seni bangunan. Seni pada bangunan pada masa kolonial bergaya Eropa seperti Benteng Vrederburg di Yogyakarta. Masyarakat perkotaan mulai mengenal tarian-tarian Barat, kebiasaan dansa dan minum-minuman yang dikenalkan para pejabat Belanda berpengaruh pada perilaku sebagian masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ajim, N. (2015). Perubahan Masyarakat Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda [online] Tersedia: http://www.mikirbae.com/2015/05/perubahan-masyarakat-masa-penjajahan.html. [26 Oktober 2016]
Daliman, A. (2012). Sejarah Indonesia Abad XIX – Awal Abad XX. Yogyakarta: Ombak.
Kartodirjo. (1992). Pengantar sejarah Indonesia baru: 1500—1900. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Makmur, T. (2009). Sejarah 2. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Poesponegoro & Notosusanto. (2010). Sejarah nasional Indonesia jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Suroyo dkk. (2012). Indonesia dalam arus sejarah. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar